Ditulis ulang oleh: Muhammad Bahauddin Amin
Carol Leroy seorang direktur Pusat Membaca dan Bahasa dari University of Alberta, Kanada mengungkapkan jika usia ideal anak untuk diajar membaca adalah anak berusia sekitar 6 tahun. Di usia ini akan sudah memiliki kemampuan yang matang untuk memulai mengenal huruf pun membaca.
Peneliti lain yakni Susan R. Johnson yang juga merupakan dokter dan pakar perkembangan anak mengungkapkan jika ketika anak berusia 7 tahun, perkembangan saraf otaknya sudah cukup matang untuk menerima pelajaran membaca, menulis maupun berhitung.
Meski anak idealnya mulai belajar membaca pada usia 6 hingga 7 tahunan, mengajarinya membaca sejak anak berusia sedini mungkin tetap baik. Anak yang diperkenalkan dengan aktivitas membaca dan menulis sejak sedini mungkin dikatakan akan memiliki ketertarikan dalam dunia tulis menulis sejak sedini mungkin. Ini juga akan membuatnya punya hobi membaca saat ia dewasa kelak. tapi bukan berarti harus disekolahkan sedini mungkin. berapa usia paling tepat untuk anak mulai bersekolah? kurang lebih sama dengan usia yang disarankan Nabi untuk mengajarkan anak shalat pertama kali. hasil kajian ilmuan tidak pernah meleset dari hadist nabi, usia 7 tahun ternyata memang usia yang tepat untuk memulai itu semua.
Keyakinan umum orang tua adalah bahwa Otak anak usia dini seperti spons, artinya ini masa yg tepat untuk ditanamkan ilmu, agar anak tumbuh cerdas. Semakin dini disekolahkan, otak anak semakin berkembang. Sehingga Ada ortu yg menyekolahkan sedini mungkin, bahkan ada yg masuk prasekolah diusia 1,5-2 tahun.
Mari kita bercermin…Apakah kita begitu meyakini bahwa anak harus segera pintar agar siap menghadapi persaingan zaman?
* Apakah kita disiapkan mjd orang tua?
* Apakah memiliki bekal yang cukup dlm mengasuh?
* Bagaimana innerchild diri kita?
Sementara sekolah hanya fokus pada logika dan persaingan. jawab pertanyaan saya dengan jujur, menurut anda mana lebih penting untuk jadi kurikulum sekolah SD? apakah matematika, IPS, PPKN? atau pelajaran kemandirian, kejujuran dan pantang meyerah? sedangkan sekolah tidak akan mengajarkan itu semua. tapi anda lah orang tua yang harusnya sibuk menemani anak dan mengajari semua itu sejak usia 2 tahun.
Betapa kita disiapkan untuk menjadi ahli namun tdk disiapkan jadi orangtua, sehigga tidak punya kesabaran & endurance untuk jadi ortu. sehingga kita lalai menentukan prioritas anak kita saat ini. anak disekolahkan ke sekolah mahal, full dengan les kanan kiri, pergi pagi pulang sore dan kelelahan setibanya dirumah, jujurlah,,,ini mau anak atau mau anda?
Ilmu yg kita miliki untuk mengasuh pun serba tanggung.
Ilmu yg setengah-tengah, berujung pada false belief (keyakinan yg salah). Sayangnya false belief ini dpt berubah menjadi societal false belief (keyakinan yg salah pd sekelompok orang).
Jika ortu tidak memiliki kemampuan berpikir (thinking skill) yg baik, false belief akibat ilmu yg serba tanggung itu jadi pembenaran bersama atas keputusan kita yg keliru.
Pintar itu ada waktunya! Karena yg berkembang adalah pusat perasaan, anak usia dini harusnya jadi anak yg bahagia, bukan jd anak yg pintar. anak pintar itu banyak, berserak-serak dan bukan nilai tambah. tapi anak yang bahagia itu langka. coba cek dirumah anda, apakah anak anda bahagia dengan anda?
Kita berpikir…
“Kan di sekolah belajarnya sambil bermain”
“Kan anak perlu belajar sosialisasi”
“Kan anak jd belajar berbagi & bermain bersama”
Padahal…
* Anak usia dini belum perlu belajar sosialisasi dg beragam orang. mereka masih ada di tahap egosentri yang kuat. dengan sodara sendiri saja masih sering rebutan mainan kan?
* Saat anak diusia dini, otak anak yg paling pesat berkembang adl pusat perasaannya, bukan pusat berpikirnya. dan sekolah tidak belajar mengelola perasaan anak. mereka hanya tahu mengelola pikiran anda. andalah orang tuanya yang tahu bagaimana mengelola perasaan anak agar tetap bahagia. jika dipaksakan sekolah, maka anak cenderung rusak pusat perasaannya.
Lalu anda akan berdalih “Di sekolah, kegiatan anak hanya bermain kok!”
Tahukah anda ayah bunda, permainan terbaik adalah tubuh ayah ibunya! Bermain dengan ayah ibu juga menciptakan kelekatan. Misal: bermain peran, bermain pura-pura, muka jelek, petak umpet. jika anda sesibuk itu dan tidak bisa menemani anak bermain, kenapa anda punya anak? tahukah anda waktu anda untuk menemani mereka bermain tidak lama? saat mereka berusia 10 tahun dunia mereka bukan lagi anda dan mereka akan mulai asik dengan teman mereka. saat mereka SMU mereka akan asik dengan organisasi. dan saat mereka kuliah mereka akan asik dengan dunia mereka. lalu saat itu tiba anda yang akan dicuekin. so jangan salahkan mereka karena dulu anda juga begitu ke mereka.
“Di sekolah, mainan lebih lengkap!”
Permainan paling kreatif adalah bermain tanpa mainan. Jangan batasi kreatifitas anak dg permainan yg siap pakai.
Contoh: karpet jadi mobil, panci jadi topi. lebih parah lagi ortu yang less-skill (tanpa skill) yang dengan alasan edukasi membekali anaknya dengan hape saat mereka masih usia 2 tahun. anda mungkin tidak tahu, tapi sasaran bisnis pornografi memang adalah anak2 dari orang tua macam anda. di China sudah ada rumah sakit khusus untuk anak2 kecanduan gadget. jika ada hidup di china dan anak anda diberikan hape usia 2 tahun, mungkin anak anda calon pasien di rumah sakit itu nantinya. bisa dipastikan seperti itu!
Ada juga orang tua yang berdalih “Di sekolah, anak belajar bersosialisasi & berbagi!”
Anak <5 th blm saatnya belajar sosialisasi. Ia blm bisa bermain bersama. Mereka baru bisa bermain bersama-sama.
Bermain bersama-sama= bermain diwaktu & tempat yg sama namun tdk berbagi mainan yg sama (menggunakan mainan masing2)
Bermain bersama= bermain permainan yg membutuhkan berbagi mainan yg sama.
“Di sekolah, anak belajar patuh pada aturan & mengikuti instruksi”
Aturan & instruksi perlu diterapkan setahap demi setahap. Jika di rumah ada aturan, di sekolah ada aturan, berapa banyak aturan yg harus anak ikuti? Apa yg dirasakan anak?
Analogi: Seorang anak <5 thn yg sangat berbakat dlm memasak, dimasukkan ke sekolah memasak. Di sekolah itu, dia diajari berbagai aturan memasak yg banyak, dilatih oleh beberapa instruktur sekaligus. Yg dirasakan anak: pusing!
Memasukkan sekolah anak terlalu dini, sama seperti menyemai benih kanker. Kita tidak tahu kapan kanker akan muncul & dlm jenis apa. Otaknya belum siap. Kita tidak pernah tahu kapan ia kehilangan motivasi belajar. Semakin muda kita sekolahkan anak, semakin cepat pula ia mengalami BLAST (Bored Lonely Afraid-Angry Stress Tired). anak yg mengalami BLAST, lebih rentan menjadi pelaku & korban bullying, pornografi & kejahatan seksual.
Adik ikut seharusnya ikut kakaknya ke sekolah. Sekolah itu bukan karena ikut-ikutan. Anak harus masuk masa teachable moment, krn memang ada anak yg mampu sekolah lebih cepat dari ketentuan umum yg berlaku. Ortu harus mampu mengendalikan keinginan anak. Kendali ada ditangan ortu, krn otak anak belum sempurna bersambungan.
Ajari anak bahasa ibunya dulu, baru kenalkan bahasa lainnya. jika anda kebelet mengajari anak bahasa inggris atau bahasa korea karena anda demam drakor, pastikan anak sudah mahir berbahasa dengan bahasa ibu. ingat, saat bahasa ibu yang dia kuasai hanya secuil lantas dia mahir bahasa asing. maka dia adalah sasaran bully tebaik saat dia bermain di lingkungan yang tidak mengeti bahasa yang dia gunakan. sudah banyak kasus anak indo yang sekolah dini diluar negeri karena ikut orang tua yang sedang berbisnis, ketika balik indonesia anak malah kesulitan bersosialisasi bahkan keluar dari sekolah hanya karena masalah fokus orang tua terhadap skill bahasa anaknya.
Ciri anak memasuki masa teachable moment.
* Menunjukkan minat utk sekolah
* Minat tersebut bersifat menetap
* Jika kita beri kesempatan untuk bersekolah, ia menunjukkan kemampuannya.
Kapan sebaiknya anak masuk sekolah?
* TK A → usia 5 th
* TK B → usia 6 th
* SD → usia 7 th
Dibawah usia 5 th, anak tdk perlu bersekolah.
Kebutuhan anak 0-8 tahun adalah bermain & terbentuknya kelekatan.
Jangan kau cabut anak2 dari dunianya terlalu cepat, krn kau akan mendapatkan orang dewasa yg kekanakan. -Prof. Neil Postman, The Disappearance Childhood-
Sumber:
Guru kami bunda Elly Risman, S. Psi
dari Yayasan Kita & Buah Hati